oleh: Naufal Aulia Aziz
Remaja, sebuah kata yang mendeskripsikan transisi antara masa anak-anak
dan masa dewasa. Sebuah kata yang melambangkan perkembangan jasmani dan rohani
seorang manusia. Sebuah kata yang menyimbolkan pedang bermata dua, yakni pedang
yang dapat memberantas musuh (menguasai nafsu), yang dapat pula berbalik
merusak pemakainya (dikuasai nafsu).
Remaja di Indonesia sekarang ini adalah remaja yang--menurut pemateri
di acara Menara Salman-- sudah cepat balig tapi belum akil. Balig disini
bermaksud jasmaninya sudah berkembang di umur-umur yang lebih muda dari umur
normalnya, baik dari segi proporsi tubuh, suara, maupun tanda-tanda seksual
seperti mimpi basah untuk laki-laki dan menstruasi untuk perempuan. Namun,
remaja-remaja yang cepat sekali balig ini ternyata tidak bersamaan akilnya,
atau dengan kata lain kedewasaan mentalnya. Sifat kekanak-kanakan masih ada di
dalam diri mereka walaupun secara fisik mereka sudah mulai dewasa.
Remaja tidak akan bisa berbuat apapun dengan benar tanpa ada kedewasaan
mental atau akil. Mereka hanya akan terombang-ambing oleh kehidupan mereka,
terlalu terlena dengan kesenangan dunia, dan terlalu lemah untuk menanggung
kerasnya kehidupan. Kebanyakan output dari hal ini pun buruk sekali. Dapat kita
lihat di media cetak, televisi, maupun media digital, bahwa ada saja kasus yang
melibatkan remaja sebagai tersangka. Mulai dari aborsi, kecanduan narkoba,
sampai kasus geng motor yang isinya adalah remaja SMA. Semua ini berasal dari
satu hal: tidak terasahnya sifat akil.
Penulis sendiri merupakan satu di antara jutaan remaja di
Indonesia yang semakin menyentuh masa dewasa. Masih sangat terasa perkembangan
jasmani dan rohani, terutama dari gejolak pikiran dalam hati. Terkadang,
dorongan berbuat buruk muncul di saat kekosongan terjadi di hari-hari penulis,
hingga simbol pedang bermata dua itupun bukannya mustahil untuk dirasakan oleh
penulis. Penulis yakin, banyak pula jutaan remaja lain yang mengalami gejolak
seperti yang penulis rasakan di masa awal-awal keremajaan mereka, dan hal
tersebut hanya dapat diatasi dengan pembinaan fundamental yang berlandaskan
keislaman, sebuah landasan yang benar di antara landasan-landasan lain yang
justru mengacaukan pemikiran remaja.
Pembinaan menjadi ajang aktualisasi diri yang sejatinya
dibutuhkan oleh remaja. Pembinaan dapat meningkatkan kedewasaan mental seorang
remaja, dan mengasah akal mereka agar bisa membedakan mana yang benar, mana
yang salah, mana yang diperintahkan Allah, dan mana yang dilarang oleh Allah.
Urgensi pembinaan sudah mencapai titik di mana tanpa adanya pembinaan, maka
masa depan Indonesia, terlebih lagi agama Islam, akan semakin hancur tergerus
derasnya 'guyuran' paham dan budaya yang jauh menyimpang dari agama Islam.
Tanpa adanya pembinaan, maka sebaik-baik remaja hanya dapat mengurus dirinya
sendiri, tanpa memiliki rasa persaudaraan sesama muslim, tanpa memiliki
kesadaran membantu orang lain, dan pastinya, tanpa kesadaran memaknai arti 'Laa
ilaaha illallah' di kehidupan sehari-harinya.
Selain dapat mengancam, remaja juga punya potensi untuk berkarya,
memajukan mulai dari apa yang ada si sekelilingnya, sampai akhirnya menjadi
pemimpin besar di masa mendatang. Contohnya Ali bin Abi Thalib yang sejak kecil
sudah sering bersama dengan Rasulullah, sehingga Ali pun dibina dengan sangat
baik oleh Rasulullah di masa remajanya. lalu hasilnya? Ia menjadi khalifah
keempat! Namun, apakah semua remaja dibina langsung oleh Rasulullah? Tentu
tidak. Oleh karena itu, tanpa pembinaan Islam yang sesuai, akan seperti apakah dia
sebagai pemimpin? Dapatkah ia menjadi harapan bangsa dan umat Islam? Atau hanya
menjadi harapan partai politiknya saja? Itu juga yang perlu diluruskan.
Pembinaan keislaman ini fundamental demi menyelaraskan potensi dan
produktivitas yang dimiliki remaja pada koridor yang benar, sehingga outputnya
juga tidak dangkal dan singkat, namun dalam, efektif, dan berkepanjangan.
Penulis sendiri merasakan adanya perbedaan dari yang namanya
'coba-coba' membina secara mandiri, dengan benar-benar mengikuti pembinaan yang
jelas. Pembinaan yang jelas sangat berguna memfasilitasi keingintahuan dan
potensi peserta pembinaan, dan terlebih lagi, adanya komunikasi dua arah antara
yang dibina dengan pembina yang sudah berwawasan luas juga memperjelas hal-hal
yang telah disampaikan.
Pembinaan Islam yang fundamental ini, jika tercapai makaoutputnya
adalah remaja yang siap menghadapi apa yang ada di depannya, remaja yang
tangguh menghadapi cobaan, dan remaja yang tegas menjauhi keburukan. Pembinaan
lain seperti keorganisasian atau akademik pun dapat dijalankan dengan terarah
dan maksimal outputnya. Dengan bekal pembinaan Islam, maka sang remaja akan
bisa memilah hal yang benar dan salah di seluruh aspek kehidupannya, dan dengan
keaktifan serta potensi yang dimiliki, maka lengkaplah remaja tersebut.
'Pedang' yang penulis sebutkan di awal tadi pun sudah dapat dijinakkan oleh
sang remaja, dan jadilah ia calon pemimpin yang diharapkan bagi bangsa dan umat
Islam.